Menurut
Nurgiyantoro (2007:23), “Unsur-unsur intrinsik merupakan unsur-unsur
yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang
secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.”
Selanjutnya
Nurgiyantoro (2007:23) menjelaskan bahwa unsur-unsur intrinsik ini
meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang
penceritaan, bahasa, dan lain-lain.
Aminuddin
(2004:66--91) berpendapat bahwa, prosa fiksi seperti cerita pendek
memiliki unsur-unsur intrinsik yang membangun dari dalam karya fiksi
dari dalam. Unsur-unsur intrinsik yang dimaksud berupa tema, alur, latar
atau setting, penokohan, dan sudut pandang.
Dari
kedua pendapat tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa unsur-unsur
intrinsik cerpen merupakan unsur-unsur yang membangun karya fiksi dari
dalam yang meliputi lima unsur yaitu: tema, alur, latar, penokohan, dan
sudut pandang. Selanjutnya penulis akan menguraikan satu-persatu
unsur-unsur tersebut,
1. Tema
Menurut
Tarigan (2008:166), tema adalah gagasan utama atau pikiran pokok. Tema
suatu karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh
setiap pembaca yang cermat sebagai akibat membaca karya tersebut.
Menurut Staton dan Kenny dalam Nurgiyantoro (2007:67), “Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.”
Aminuddin
(2004:91) menjelaskan bahwa, “Tema adalah ide yang mendasari suatu
cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.”
Dari
beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa, tema adalah
gagasan utama, ide atau pikiran pokok yang sanggup mengungkapkan makna
dalam karya fiksi. Contohnya adalah cerita Siti Nurbaya karya Marah Rusli memiliki tema yaitu “Kasih Tak Sampai”
2. Alur
Alur
dalam cerpen atau karya sastra fiksi pada umumnya adalah rangkaian
cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin
suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita. (Aminuddin,
2004:83).
Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2007:113) alur atau plot
adalah
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan peristiwa yang lain.
Dari
kedua pendapat di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa alur adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa yang
menimbulkan sebab akibat sehingga menjalin suatu cerita.
a. Unsur-unsur Alur
Tarigan (2008:156) memaparkan bahwa unsur-unsur alur terbagi atas lima bagian, yaitu situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan atau situasi), generating circumstances (peristiwa yang bersangkut-paut, yang berkait-kaitan mulai bergerak), rising action (keadaan mulai memuncak), climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks), dan denouement (pengarang memberikan pemecahan sosial dari semua peristiwa).
1) Tahap Penyituasian (Situation)
Situation adalah saat pengarang mulai melukiskan suatu keadaan atau situasi (Tarigan, 2008:156).
Menurut
Nurgiyantoro (2007:149), situation disebut juga dengan tahap
penyituasian atau tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan
situasi latar dan tokoh cerita.
Dari
kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa situation adalah tahap
penyesuaian yang melukiskan keadaan awal atau perkenalan dengan situasi
latar dan tokoh cerita.
2) Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)
Generating circumstances adalah peristiwa yang bersangkut-paut, yang berkait-kaitan mulai bergerak.(Tarigan, 2008:156).
Tahap
pemunculan konflik atau Generating circumstances merupakan masa dimana
masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya
konflik mulai dimunculkan. (Nurgiyantoro, 2007:149).
Dari
kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, generating
circumstances adalah peristiwa awal yang dimunculkan untuk menyulut
terjadinya konflik.
3) Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action)
Rising action adalah situasi panas karena pelaku –pelaku dalam cerita mulai berkonflik. (Aminuddin, 2004:84).
Tahap
peningkatan konflik atau rising action merupakan konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan
kadar intensitasnya. (Nurgiyantoro, 2007:149).
Dari
kedua pendapat di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa rising action
adalah situasi panas yang disebabkan dengan pemunculan konflik yang
berkembang dan dikembangkan kadar intensitanya.
4) Tahap Klimaks (Climax)
Climax
adalah situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling
tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan nasib oleh pengarangnya.
(Aminuddin, 2004:84).
Climax
atau tahap klimaks merupakan konflik dan atau pertentangan-pertentangan
yang terjadi, yang diakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita
mencapai titik intensitas puncak. (Nurgiyantoro, 2007:150).
Dari
kedua pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa Climax adalah
konflik yang semakin memuncak sehingga pelaku atau tokoh dalam cerita
mendapatkan nasib dan mencapai titik intensitas puncak.
5) Tahap Penyelesaian (Denouement)
Denouement adalah pemecahan sosial dari semua peristiwa. (Tarigan, 2008:156).
Denouement
atau tahap penyelesaian ialah konflik yang telah mencapai klimaks
diberi penyelesaian, dan ketegangan dikendorkan. (Nurgiyantoro,
2007:150).
Dari
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa denouement adalah tahap
penyelesaian konflik yang telah mencapai klimaks dan diberi
penyelesaiannya.
b. Jenis-jenis Alur
Jalannya
peristiwa yang membentuk sebuah cerita terjadi dalam sebuah struktur
atau urutan waktu. Dalam mengurutkan susunan tersebut dikenal tiga jenis
alur yakni alur maju (kronologis) dan alur mundur (flashback), serta alur campuran atau gabungan. (Nurgiyantoro, 2007:153--156).
1) Alur Maju (Kronologis)
Alur maju (kronologis)
menurut Nurgiyantoro (2007:153) yaitu apabila pengarang dalam
mengurutkan peristiwa-peristiwa itu menggunakan urutan waktu maju dan
lurus. Artinya peristiwa-peristiwa itu diawali dengan pengenalan masalah
dan diakhiri dengan pemecahan masalah. Dapat dilihat dalam kutipan
berikut ini,
Salah satu cara mengisi kekosongan pagi hari ialah membaca koran.
Menurut Rusti kebiasaan seperti itu lebih baik daripada memutar-
mutar nomor telepon mencari teman bicara atau berdiri di pagar
halaman dan memeriksa kesibukan tetangga. Karena itu setelah
melepas Hatanto dan ketiga anak mereka, Rusti kembali ke kursi
kesayangannya, membalik-balik koran pagi. Yang pertama dibacanya
adalah cerita bersambung tentang perjuangan seorang anak manusia.
(Retak-retak Waduk Raksasa, Rohyati dalam Aminuddin, 2004:73)
2) Alur Mundur (Flashback)
Nurgiyantoro (2007:154) menjelaskan bahwa Alur mundur (flashback)
yaitu apabila pengarang mengurutkan peristiwa-peristiwa itu tidak
dimulai dari peristiwa awal, melainkan mungkin dari peristiwa tengah
atau akhir. Seperti contoh (dalam Nurgiyantoro, 2007:155), novel Keluarga Permana
karya Ramadhan K.H yang awal penceritaan berintikan meninggalnya
Farida, kemudian peristiwa-peristiwa yang disorot balik yang berintikan
kemelut pada rumah tangga Permana sampai Farida dikawinkan dengan
Sumarto, peristiwa tersebut dimunculkan untuk menegaskan kronologisnya
antara dua peristiwa terdahulu, lalu akhirnya berintikan pada
kegoncangan jiwa Permana akibat meninggalnya Farida, anak semata
wayangnya.
3) Alur Campuran
Nurgiyantoro
(2007:155) menjelaskan alur campuran yaitu apabila cerita berjalan
secara kronologis namun sering terdapat adegan-adegan sorot balik.
Seperti contoh (dalam Nurgiyantoro, 2007:156), novel Tanah Gersang
karya Mochtar Lubis memuat alur campuran, cerita di dalamnya secara
keseluruhan berlangsung secara progresif, namun berkali-kali terdapat
adegan sorot balik yang cukup panjang dan bersifat mendukung tema,
tendens, dan penokohan novel itu.
3. Latar atau Setting
Menurut
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007:216), Latar atau setting adalah landas
tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Aminuddin
(2004:67) menjelaskan bahwa setting adalah latar peristiwa dalam karya
fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki
fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Laverty (dalam Tarigan, 2008:164) berpendapat bahwa, latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung.
Dari
beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa latar atau
setting adalah tempat, hubungan waktu, atau peristiwa yang terjadi di
dalam sebuah karya fiksi.
Nurgiyantoro
(2007:227--234), menjelaskan bahwa unsur latar atau setting meliputi
latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. (menyaran pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalam karya fiksi. Lebih lanjut dapat dilihat dalam
penjelasan unsur latar sebagai berikut:
a. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.(Nurgiyantoro, 2007:227).
Latar tempat dalam sebuah karya fiksi dapat dilihat dalam contoh kutipan berikut ini:
Baru keesokan harinya pemuda-pemuda memperoleh kepastian:
Belanda dursetut ke Yogya, kota kabupaten diduduki musuh. Tetapi di
hari pasaran Pon berikut masih banyak juga perempuan yang toh pergi
ke pasar, jauh di bawah sana di tepi jalan raya aspal. Akan tetapi
mereka pulang kecewa karena semua toko tutup.
(Burung-burung Manyar, Y.B.Mangunwijaya dalam Nurgiyantoro, 2007:219)
Latar dalam kutipan di atas adalah kota Yogya.
b. Latar waktu
Menurut
Nurgiyantoro (2007:230), latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi.
Latar waktu dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Abimanyu nanar tatapan matanya memandangi genangan darah yang
bergerak perlahan-lahan semakin meluas memenuhi kemahnya. Kental
merah anggur keungu-unguan dan semburat berkilat-kilat kena cahaya
dari luar. Matahari sudah amat condong ke barat. Hari telah sore,
sebuah bola emas besar.
(Nostalgia, Danarto dalam Aminuddin, 2004:71 )
Latar waktu dalam kutipan di atas adalah sore hari.
c. Latar Sosial
Selanjutnya
Nurgiyantoro (2007:233), menjelaskan bahwa latar sosial menyaran pada
hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di
suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Contoh latar sosial dalam kutipan berikut:
Anak kecil itu masih duduk sendiri di atas gundukan sampah yang
menjulang. Di tangannnya tergenggam kertas-kertas bekas, sementara
di sebelah kanannya tumpukan kertas-kertas, kardus pilihan yang
dikumpulkannya. Matanya yang kecil dan manis itu melihat ke atas,
memandang fajar yang pelan-pelan memancarkan sinar.
(Burik, N.K.S Hendrowinoto dalam Aminuddin, 2004:67)
Dalam kutipan di atas terlihat bahwa ada seorang anak yang tidak mampu yang berkerja sebagai pemulung sampah.
4. Tokoh dan Penokohan
a. Tokoh
Aminuddin
(2004:79) berpendapat bahwa, tokoh adalah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu menjalin suatu
cerita.
Menurut
Abrams (Nurgiyantoro, 2007:165) menjelaskan bahwa tokoh cerita adalah
orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.
Dari
kedua pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku
yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi naratif atau drama sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh memiliki beberapa jenis. Adapun penjelasan dari beberapa jenis tokoh adalah sebagai berikut:
1) Jenis Tokoh Berdasarkan Peranan
Aminuddin
(2004:79--80) menggolongkan tokoh berdasarkan peranan dan keseringan
pemunculannya yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan.
a) Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita.(Aminuddin, 2004:79).
Menurut Nurgiyantoro (2007:176), tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya.
Dari
kedua pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa tokoh utama adalah
tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita dan diutamakan
penceritaannya.
Contohnya di dalam karya fiksi yang berbentuk novel berjudul Siti Nurbaya karya Marah Rusli, tokoh utamanya adalah Siti Nurbaya.
b) Tokoh Tambahan
Menurut
Aminuddin (2004:79--80), tokoh yang memiliki peranan yang tidak penting
karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama
disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Nurgiyantoro
(2007:177) berpendapat bahwa pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam
keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya
hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Dari
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh tambahan adalah
tokoh yang memiliki peranan yang tidak penting karena pemunculannya
hanya sedikit, untuk melengkapi, melayani, mendukung tokoh utama.
Contohnya dapat dilihat dalam karya fiksi yang berbentuk novel berjudul Burung-burung Manyar
karya Y.B. Mangunwijaya, yang merupakan tokoh tambahan dalam novel ini
adalah Verbruggen, Janakatamsi, Bu Antana dan Marice.(Nurgiyantoro,
2007:178).
2) Jenis Tokoh Berdasarkan Fungsi Penampilan
Altenbernd
dan Lewis (Nurgiyantoro, 2007:178--179) menggolongkan tokoh berdasarkan
fungsi penampilannya. Dilihat dari fungsi penampilannya, tokoh
dibedakan atas tokoh protagonis dan antagonis.
a) Tokoh Protagonis
Menurut pendapat Altenbernd dan Lewis (Nurgiyantoro, 2007:178--179), tokoh
protagonis adalah tokoh yang memberikan simpati dan empati, dan
melibatkan diri secara emosional serta dikagumi oleh pembaca.
Tokoh protagonis merupakan tokoh yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca. (Aminuddin, 2004:80).
Dari
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh protagonis adalah
tokoh atau pelaku yang memiliki watak baik dan memberikan unsur
emosional yang bersifat simpati dan empati dari para pembacanya. Tokoh
ini adalah tokoh yang dikagumi dan disenangi pembaca.
Contoh dapat dilihat dalam karya fiksi yang berbentuk novel berjudul Pada Sebuah Kapal karya N.H.Dhini, dalam novel ini tokoh protagonisnya adalah Sri dan Michel.
b) Tokoh Antagonis
Menurut
pendapat Aminuddin (2004:80), tokoh antagonis adalah tokoh yang tidak
disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa
yang diidamkan pembaca.
Nurgiyantoro (2007:179) menjelaskan bahwa tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.
Dari
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh antagonis adalah
tokoh yang memiliki watak yang tidazk sesuai dengan apa yang diidamkan
pembaca, tokoh ini merupakan tokoh penyebab terjadinya konflik yang
dialami oleh tokoh protagonis.
Contoh dapat dilihat dalam karya fiksi novel yang berjudul Pada Sebuah Kapal
karya N.H. Dhini. Dalam novel ini yang berperan sebagai tokoh antagonis
adalah Charles Vincent sebagai suami Sri dan Nicole sebagai istri
Michel.
3) Jenis Tokoh Berdasarkan Perwatakannya
Menurut Forster (Nurgiyantoro, 2007:181), tokoh berdasarkan perwatakannya terbagi atas tokoh sederhana (simple caracter) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex caracter).
a) Tokoh Sederhana (Simple Caracter)
Tokoh
sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki
satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja.
(Nurgiyantoro, 2007:181--182).
Menurut Aminuddin (2004:82), simple caracter ialah bila pelaku itu menunjukkan adanya kompleksitas masalah.
Dari
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh sederhana atau
(simple caracter) adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi
atau satu sifat watak tertentu saja, dan pelaku pun tidak menunjukkan
adanya kompleksitas masalah.
Seperti contoh dalam karya fiksi novel yang berjudul Salah Asuhan karya Abdul Muis, tokoh sederhana ini adalah Corrie dan Rafiah.
b) Tokoh Bulat (Complex Caracter)
Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2007:183) “Tokoh bulat atau kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia
dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia
pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan
mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga.”
Tokoh
kompleks adalah tokoh yang pemunculannya dibebani banyak permasalahan.
Selain itu tokoh ini juga ditandai dengan munculnya pelaku yang memiliki
obsesi batin yang cukup kompleks sehingga kehadirannya banyak
memberikan gambaran perwatakan yang kompleks pula. (Aminuddin, 2004:82).
Dari
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh kompleks atau
tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki watak yang kompleks, karena menampilkan
watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti
bertentangan dan sulit diduga. Hal ini disebabkan oleh banyaknya masalah
yang dibebankan olehnya.
Contoh dapat dilihat dalam Burung-burung Manyar
karya Y.B Mangunwijaya yang terjadi pada tokoh Teto yang mengalami
perubahan-perubahan sikap dan tindakan, dari sikapnya yang cinta kepada
orang Indonesia, berubah menjadi sikap dan perbuatan memusuhi, dan
kemudian berubah lagi menjadi mencintai dan bahkan mau membela
kepentingannya dengan penuh tanggung jawab.
4) Jenis Tokoh Berdasarkan Perkembangan Watak
Nurgiyantoro
(2007:188) menggolongkan tokoh berdasarkan berkembang atau tidaknya
perwatakan tokoh. Dalam golongan ini, tokoh dibedakan atas tokoh statis
dan tokoh berkembang.
a) Tokoh Berkembang
Tokoh
berkembang adalah tokoh yang memiliki perubahan dan perkembangan
perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan
plot yang dikisahkan. (Nurgiyantoro, 2007:188).
Menurut Aminuddin (2004:84), tokoh berkembang disebut juga dengan tokoh dinamis yaitu tokoh atau pelaku yang memiliki perubahan dan perkembangan batin dalam keseluruhan penampilannya.
Dari
kedua pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa tokoh berkembang
adalah tokoh yang memiliki perubahan dan perkembangan watak sejalan
dengan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
Seperti contoh dalam karya fiksi novel berjudul Jalan Tak Ada Ujung
karya Muchtar Lubis, tokoh Guru Isa yang sebelumnya diceritakan sebagai
manusia penakut dan impoten, kemudian berubah menjadi tidak penakut dan
tidak impoten lagi, perubahan itu terjadi karena ada sebab-sebab khusus
yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi plot dasn peristiwa.
b) Tokoh Statis
Altenbernd
dan Lewis (Nurgiyantoro, 2007:188) “Tokoh statis adalah tokoh cerita
yang secara essensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan
perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Menurut
pendapat Aminuddin (2004:83), tokoh statis adalah tokoh atau pelaku
yang tidak menunjukkan adanya perubahan atau perkembangan sejak pelaku
itu muncul hingga diakhir cerita.
Dari
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh statis adalah
tokoh yang tidak mengalami perkembangan atau perubahan perwatakan
sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak pelaku
muncul hingga diakhir cerita.
Contohnya dapat dilihat dalam karya fiksi novel yang berjudul Siti Nurbaya
karya Marah Rusli, di dalam novel tersebut tokoh Datuk Maringgih tidak
mengalami perubahan watak. Ia tetap menjadi tokoh yang jahat, semua
tindakan dan tingkah lakunya adalah kejahatan.
b. Penokohan
“Penokohan
atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang
pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya.”(Tarigan, 2008:147).
Menurut
Nurgiyantoro (2007:165) penokohan dan karakterisasi sering juga
disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada
penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah
cerita.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, penokohan adalah karakteristik pelaku dalam
sebuah karya fiksi yang menciptakan serta membentuk suatu cerita.
Dapat dilihat dalam contoh kutipan berikut:
Sudah lima kali aku ke Kramat dan masuk menyelinap melalui
pintu dapur. Sesudah kunjungan yang kedua kali pintu dapur kukunci
cermat. Tetapi surat Atik belum kujawab. Aku takut. Kunci masih
terletak di dalam lubang dinding seperti ada dahulu. Seorang diri aku
datang, dalam waktu istirahat bebas dinas. Untuk ketiga kalinya. Hanya
duduk-duduk di serambi belakang.
(Burung-burung Manyar, Y.B.Mangunwijaya dalam Nurgiyantoro, 2007:203)
Dari
penggalan kutipan yang menceritakan tindakan dan tingkah laku Teto di
atas, kita akan mendapat tambahan informasi tentang kediriannya. Teto
pada dasarnya juga merupakan seorang sentimentalis, romantis, merasa
terikat dan terpengaruh masa lalu, kenangan masa lalu. Ia juga seorang
yang bertanggung jawab, walau dalam kaitannya dengan sifat
kesentimentalannya. (Nurgiyantoro, 2007:203).
5. Sudut Pandang
Sudut
pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara
sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
(Nurgiyantoro, 2007:248).
Menurut
Tarigan (2008:136), Sudut pandang adalah posisi fisik, tempat
persona/pembicara melihat dan menyajikan gagasan-gagasan atau
peristiwa-peristiwa; merupakan perspektif/pemandangan fisik dalam ruang
dan waktu yang dipilih oleh penulis bagi personanya, serta mencakup
kualitas-kualitas emosional dan mental persona yang mengawasi sikap dan
nada.
Dari
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah
srategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya, dan merupakan cara pengarang untuk
menyajikan peristiwa-peristiwa. Sudut pandang juga merupakan perspektif
atau pemandangan fisik dalam ruang dan waktu yang dipilih oleh penulis
bagi personanya, serta mencakup kualitas-kualitas emosional dan mental
persona yang mengawasi sikap dan nada.
Selanjutnya
Tarigan menjelaskan bahwa sudut pandang ini ada berbagai ragam; yang
terpenting diantaranya adalah; Sudut pandang yang berpusat pada orang
pertama (first person central point of view), Sudut pandang yang berkisar sekeliling orang pertama (first person peripheral point of view). Sudut pandang orang ketiga terbatas (limited third person point of view). Dan Sudut pandang orang ketiga serba tahu (third person omniscient point of view).
Di bawah ini merupakan jenis-jenis sudut pandang. Jenis-jenis sudut pandang adalah sebagai berikut:
a. Sudut Pandang yang Berpusat pada Orang Pertama (First Person Central Point of View).
Menurut
Tarigan (2008:138), sudut pandang yang berpusat pada orang pertama ini,
persona yang bertindak sebagai juru bicara menceritakan kisahnya dengan
mempergunakan kata aku saya. Dengan perkataan lain, dia membatasi pada apa-apa yang dapat diketahuinya dan yang ingin dikemukakannya saja.
Nurgiyantoro
(2007:262) berpendapat, sudut pandang persona pertama adalah pengarang
menggunakan gaya “aku”, ia mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang
diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya
terhadap tokoh lain. Pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara
terbatas seperti apa yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.
Dari
kedua pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa sudut pandang
yang berpusat pada orang pertama adalah pengarang bertindak sebagai juru
bicara menceritakan kisahnya dengan mempergunakan kata “aku”, ia
mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar,
dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain. Pembaca
hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti apa yang
dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.
Contoh dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Aku keluar rumah. Kulihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di
kali menggis dengan air seperti jenang soklat. Bahkan sungai di sisi
timur kota Magelang yang sekotor itu ironis sekali diberi nama
kali Bening. Di negeri seperti ini, air yang begitu kotor penuh berak dan
basil toh sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal seperti itu
juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman dan segar.
(Burung-burung Manyar, Y.B Mangunwijaya dalam Nurgiyantoro,
2007:288)
b. Sudut Pandang yang Berkisar Sekeliling Orang Pertama (First Person Peripheral Point of View).
Dalam first person peripheral point of view,
sudut pandang yang tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada
pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan”
untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang
dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama,
sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa,
tindakan, dan berhubngan dengan tokoh-tokoh lain. (Nurgiyantoro,
2007:264--265).
Menurut
Tarigan (2008:138), “Dalam sudut pandang yang berkisar sekeliling orang
pertama ini, persona menceritakan suatu cerita dengan mempergunakan
kata aku,saya; tetapi cerita itu bukan ceritanya
sendiri. Di sini, persona bukan merupakan tokoh utama. Penggunaan sudut
pandangan seperti ini mengizinkan persona memberikan interpretasi kepada
para pembaca mengenai tokoh utama dan segala gerak-geriknya.”
Gorys
Keraf (2003:195), menyatakan sudut pandang tipe ini, pengisah (narator)
mengambil bagian langsung dalam seluruh rangkaian tindakan (sebagai
partisipan) dan turut menentukan hasilnya, tetapi tidak menjadi tokoh
utama (ia bukan bermain caracter).
Dari
pendapat-pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa pengarang dalam
sudut pandang yang berkisar sekeliling orang pertama ini menceritakan
suatu cerita masih menggunakan kata aku atau saya tetapi dengan tokoh utamanya adalah tokoh lain bukan dirinya sendiri. Pengarang mengambil
bagian langsung dalam seluruh rangkaian tindakan (sebagai partisipan)
dan turut menentukan hasilnya. Penggunaan sudut pandangan seperti ini
mengizinkan persona memberikan interpretasi kepada para pembaca mengenai
tokoh utama dan segala gerak-geriknya.
Seperti dalam contoh kutipan berikut ini:
Inilah terakhir kali kulihat sersan Husni, ketika muncul di rumah
lepas Isya dan lenyap tatkala langit gelap seperti karbon. Sudah tiga
bulan tidak bertemu. Air mukanya lebih garang ketimbang semula, mengingatkan aku kepada mandor tebu perkebunan Colomadu, yang pernah mengusir kami anak-anak sehingga berhamburan. Ibu tak lupa
akan nazarnya, potong ayam andai kata sersan selamat tidak kurang
suatu apapun. Oleh sebab kedatangannya yang tiba-tiba, nazar itu
sedikit mengalami perubahan. Bukan potong ayam, melainkan beli daging ayam. Buatku, hampir-hampir tak ada bedanya.
(Dari Hari ke Hari, Mahbub Djunaidi dalam Gorys Keraf, 2003: 195--196)
c. Sudut Pandang Orang Ketiga Terbatas (Limited Third Person Point of View).
Sudut pandang orang ketiga terbatas adalah pengarang mempergunakan kata ganti diri saya atau aku,
tetapi sebagai penggantinya menceritakan cerita terutama sekali sebagai
satu atau dua tokoh utama yang dapat mengetahuinya. Persona secara
tegas membatasi dirinya terhadap apa-apa yang telah dapat diketahui oleh
para tokoh tersebut, apa yang telah dipikirkan atau yang
dilakukannya.(Tarigan, 2008:139).
Menurut
Stanton (Nurgiyantoro, 2007:259), dalam sudut pandang “dia” terbatas,
pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan,
dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh
saja.
Berdasarkan
kedua pendapat di atas, penulis menyimpulkan sudut pandang orang ketiga
terbatas adalah sudut pandang yang dipakai pengarang dengan cara
melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan, dan
dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh
saja. pengarang secara tegas membatasi dirinya terhadap apa-apa yang
telah dapat diketahui oleh para tokoh tersebut, apa yang telah
dipikirkan atau yang dilakukannya.
Seperti contoh di bawah ini:
Sadeli dan David memandang padanya separuh takjub. Apakah
Maria berbicara sungguh-sungguh, atau hanya hendak Mempermainkan
mereka saja?. Melihat air muka mereka yang keheranan. Maria tiba-
tiba tertawa, merasa amat lucu. David Wayne dan Sadeli ikut tertawa,
meskipun tak begitu mengerti apa yang ditertawakan Maria, dan
mereka merasa seakan sudah berkenalan sejak lama.
(Maut dan Cinta, Mochtar Lubis dalam Nurgiyantoro, 2007:257)
d. Sudut Pandang Orang Ketiga Serba Tahu (Third Person Omniscient Point of View).
Sudut pandang orang ketiga serba tahu ini, persona tidak menggunakan kata ganti aku atau saya
dalam penyajian bahannya benar-benar mengetahui segala sesuatu yang
pantas diketahui mengenai segala keadaan gerak, tindakan, atau emosinya
yang terlibat didalamnya.(Tarigan, 2008:140).
Nurgiyantoro (2007:257) berpendapat bahwa orang ketiga maha tahu dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator, dapat menceritakan
apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator
mengetahui segalanya. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh,
peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.
Berdasarkan
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang orang
ketiga serba tahu ini pengarang tidak menggunakan kata ganti aku atau saya,
di dalam cerita ia mengetahui segala sesuatu yang pantas diketahui
mengenai segala keadaan gerak, tindakan, atau emosinya yang terlibat
didalam cerita. Dan ia pun mengetahui berbagai hal tentang tokoh,
peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.
Dapat dilihat dalam contoh kutipan berikut:
Dia melihat betapa Maria sekuat tenaga menjaga dirinya Jangan
menangis terisak-isak karena ada ibunya, dan karena ibunya Telah
mengatakan padanya, bahwa semua ini akan terjadi, dan Maria
mengatakan pada ibunya dia akan kuat menahannya. Apa yang
dilakukan Maria kini? Tanya Sadeli pada dirinya sendiri. Dan Sadeli tak
tahu, bahwa saat itu Maria sedang terbaring di tempat tidurnya, air mata
mengalir membasahi pipinya, membasahi bantalnya, dan dia
mencoba menghidupkan kembali dalam ingatanya, dalam seluruh
badannya apa yang pernah terjadi di tempat tidur antara dia dengan
Sadeli.
(Maut dan Cinta, Mochtar Lubis dalam Nurgiyantoro, 2007:258)
0 Komentar untuk "pengertian Unsur-unsur Intrinsik cerpen"