Waktu
menunjukkan jam 05.00 WIB. Ayam berkokok dari kejauhan dan suara-suara dari
masjid memanggil umatnya. Kupaksakan membuka mata. Kubuka jendela rumah yang
menghadap ke jalan. Satu dua motor melintas. Embun pagi masih menampakkan
dirinya di lembaran dedaunan. Langit masih cukup gelap dengan awannya yang
berwarna biru gelap dan oranye. Udara dingin menusuk. Pasti tadi malam hujan.
Batinku berucap. Suasana ini cuma kutemui di Indonesia.
Ayah
dan Ibu masih terlelap dalam tidurnya. Pasti kecapekan untuk mengumpulkan
pundi-pundi uang. Dua kakakku masih dalam mimpinya. Kakak lelaki bercita-cita
merantau ke seberang. Berusaha berjuang dengan usahanya sendiri dan pulang
untuk dapat membanggakan orangtua.
Kakak
perempuanku, dalam tidur heningnya hanya berharap dirinya yang pemalu dapat
diterima oleh teman teman sekolahnya. Mimpi yang mungkin sepele tetapi sulit
halnya pada masa ketika kesenjangan sosial sangat terasa. Mungkin itu juga yang
menjadi mimpi banyak orang Indonesia. Ah, biarlah mereka beristirahat lebih
lama.
Kunyalakan
lampu dan melihat ke gubuk kecil tempat kami berlindung dari panas dan hujan.
Rumah ini sekaligus menjadi tempat kami mencari nafkah lewat barang
kelontongan. Sungguh ciri khas rumah di Indonesia. Aku bergegas memakai seragam
putih merah yang sudah kucel. Aku cuma punya satu sehingga bau keringat
berhari-hari menempel sehingga berubah menjadi warna kuning. Karena dingin,
saya tidak mau mandi. Rambut dengan model bob cukup kusisir dengan tangan. Ibu
guru selalu mengingatkan kami untuk mandi tiap harinya. Dia bilang kalau tidak
mandi maka kami akan mengantuk dan pelajaran tidak dapat sampai ke otak. Sampai
sekarang saya tidak tahu kebenarannya. Tetapi saya rindu akan nasehat pahlawan
tanpa jasa tersebut.
Ibu
terbangun. Dengan mata yang masih belum sadar sepenuhnya, dia menyalakan
kompor, memasak air, dan menanak nasi. Seperti ibu Indonesia pada umumnya.
Tidak lupa dia memasakkan masakan kesukaan dan favorit orang Indonesia.
Kuhabiskan mie instan itu dalam hitungan menit. Setelah gosok gigi, memakai
sepatu hitam, dan kaus kaki yang karetnya sudah longgar, aku pun pamit. Aku
berlari ke luar rumah dan siap menunggu angkot. Dimana lagi akan kau temui
angkutan umum yang hanya ada di Indonesia ini? Sepintas lalu terlihat ibu-ibu
baru saja pulang dari pasar subuh. Mereka menaiki angkot atau mobil pick-up
beramai-ramai. Bermacam-macam sayuran dan buah berdesakan di dalam mobil.
Perjuangan mereka untuk menghidupi keluarga dimulai bahkan ketika orang masih
terlelap.
Angkot pun
menghampiri. Yang kunaiki adalah angkot odong-odong yang berarti angkot
dengan mobil kusam dan supirnya bukanlah anak gaul melainkan hanya bapak tua
yang merangkap sebagai kernet. Di dalam angkot tidak ada speaker raksasa
dengan suara musik hingar-bingar. Kursinya pun bolong termakan usia. Aku duduk
dan membuka jendela. Ah, segarnya udara pagi ketika polusi belum menghampiri.
Jalanan yang
berlubang, polisi tidur serta tikungan dan tanjakan menjadi warna sendiri.
Kuamati apapun yang bisa kulihat. Tidak pernah bosan rasanya menatap keindahan
alam Indonesia. Kupandangi juga poster dan baliho calon anggota DPR yang
menuliskan janji-janjinya. Tidak tahu apakah itu hanya sebatas ucapan atau
amanat. Ada juga di setiap tiang listrik atau lampu merah, berbagai iklan, dan
jasa ditawarkan. Mulai dari les privat, sewa badut, sedot wc, dan obat penguat.
Tiba di depan
sekolah, sudah kuduga aku orang pertama. Hari ini jatahku kebagian piket.
Dengan semangat 45 kubersihkan lantai semen, menganti air cuci tangan ibu guru,
membuang sampah, dan mengambil kapur putih dan merah di ruang kepala sekolah.
Aku suka sekolah di Indonesia. Mengajarkan aku menjadi mandiri dan bertanggung
jawab. Teman sekelasku datang. Kami cuma berlima, tiga cowok dan dua cewek.
Mungkin Anda tidak percaya tapi memang begitu kenyataannya. Seringkali dalam
satu kelas itu kami digabung dengan kakak kelas. Yah, begitulah nasib sekolah
dengan peringkat yang cukup menyedihkan di kotaku.
Ibu guru kami sangat galak. Ia membawa
kayu kecil yang siap menghantam telapak tangan jika kami bandel. Cubitannya
juga sesuatu yang selalu kami hindari. Kami dilarang menyontek. Jumlah kami
yang sedikit tidak memungkinkan kami menyontek. Lonceng berbunyi dan kami
berhamburan keluar. Aku menuju ruang administrasi dan membayar SPP-ku bulan
ini. Hanya Rp.7.000,00.
Aku mengajak
teman wanita untuk menemaniku ke WC. Aku selalu mendengar cerita cerita misteri
khas Indonesia dan, oleh sebab itu, selalu merinding jika harus ke toilet
sendiri. Lalu kami pergi jajan di kantin sekolah. Aku paling suka bakso tusuk.
Ada juga pempek dan es lilin. Bagiku jaja Bagiku jajanan Indonesia ad alah yang
terenak..
Jika tidak
menemukan aku sedang jajan, pastilah aku sedang bermain petak umpet dan
kejar-kejaran. Terkadang kami menerobos pagar pembatas TK dan bermain ayunan
serta perosotan. Jika sedang nakal-nakalnya, maka teman pria akan mengerjai
kami yang perempuan dengan mengangkat rok merah kami. Konyol sekali tetapi
berhasil membuat saya menanggis tersedu-sedu. Teringat pesan mama untuk selalu
memakai celana hitam pendek jika memakai rok. Sampai sekarang aku tidak tahu
apakah itu termasuk pelecehan seksual?
Selesai
sekolah, aku harus bergegas pulang untuk membantu orangtua di toko. Ketika sore
tiba maka aku akan bermain kelereng dengan anak tetangga di sebelah rumah. Kami
juga suka bermain masak-masakan dengan memetik bunga atau daun di belakang
rumah. Jika tidak, pastilah aku sedang naik sepeda mengelilingi daerah
sekelilingku. Pernah aku jatuh dari sepeda yang lokasinya jauh dari rumah. Aku
tidak dapat berjalan dan harus dipapah. Di zaman belum ada handphone
itu, mereka memanggil ayahku ke rumah. Oh, sungguh mulia dan terpujilah sikap
saling tolong-menolong di Indonesia ini.
Ketika
maghrib datang, kami harus pulang. “Ga boleh keluar rumah awas diculik
makhluk halus loh ntar”. Begitu ucap temannya ibuku yang datang menjemput
temanku sambil menjewer telinganya. Makan malam hari itu adalah sayur kangkung
polos dan petai tumis dengan udang, tahu, tempe, dan telur puyuh. Entah kenapa
rasanya lezat sekali apalagi jika dimakan dengan keluarga. Tiba-tiba lampu
padam. Rupanya pemadaman bergilir melanda rumah kami. Kami semua berkumpul di
ruang tengah mengelilingi ayah. Dia mulai menceritakan cerita rakyat. Favoritku
adalah mengenai asal-usul bunga putri malu. Cerita ayah membawaku masuk ke
dunia fantasiku.
Tidak
terasa sudah jam delapan malam. Kami harus segera tidur karena besok sekolah.
Kakak lelaki masih sibuk mengerjakan PR-nya yaitu membuat kliping tentang
pahlawan nasional. Dia seharian mencari gambar atau poto pahlawan di toko buku
bekas. Lampu belum menyala dan kami hanya ditemani dengan lampu teplok dan
lilin. Sengatan nyamuk di mana-mana sungguh menyebalkan. Padahal kami sudah
menghidupkan obat nyamuk bakar.
Aku dapat
mendengar suara ngorok dari kakak perempuanku. Di telinganya terpasang handsfree
dari walkmannya. Kucoba menutup mata dan mulai tidur. Dalam mimpiku, aku
melihat kami sekeluarga hidup di negara yang berkembang dengan kemajuan
teknologi yang pesat. Negara kami telah bangkit dari keterpurukan dan mulai
mengukir prestasi di sana-sini. Tetapi negara itu tidak menjadi angkuh, sikap
ramah tamah dan gotong royongnya tetap menjadi ciri khasnya. Negara itu adalah
tanah airku INDONESIA.
0 Komentar untuk "CONTOH PARAGRAF NARASI"